BAB II - HIDUP LEBIH
DAMAI DENGAN MUJĀHADATUN-NAFS,
HUSNUD-ZANN, DAN UKHUWAH
QS. al-Anfāl [8]: 72
¨Terjemah Ayat
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhājirīn), mereka itu satu
sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka,
sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam
(urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap
kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.
al-Anfāl [8] : 72).
Penjelasan QS. al-Anfāl [8]: 72
Dalam peristiwa hijrahnya Nabi bersama sahabat ke Madinah, terdapat
tiga golongan; Pertama adalah kaum Muhājirı̄n yaitu orang-orang yang berhijrah
bersama Nabi Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam dari Mekah ke Madinah. Mereka
mengalami kekerasan, penyiksaan dan kekejaman yang dilakukan oleh kaum kafir tetapi
mereka tetap sabar dan tetap dalam iman. Kedua adalah kaum Anṣār yaitu orang-orang
Madinah yang beriman kepada Allah subḥānahū wa taʻālā, berjanji kepada Nabi
Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam dan kaum Muhājirı̄n untuk bersama-sama
berjuang di jalan Allah. Mereka bersedia menolong dan berkorban dengan harta
dan jiwanya demi keberhasilan perjuangan Islam. Allah memberikan dua sebutan
mulia kepada mereka sebagai “pemberi tempat kediaman” dan “penolong dan
pembantu”. Ketiga adalah kaum yang tidak termasuk dalam keduanya, mereka tetap
tinggal di Mekah yang dikuasai oleh kaum kafir.
Mereka tidak dapat disamakan dengan kaum Muhājirı̄n dan kaum Anṣār karena
mereka tidak berada dalam lingkungan masyarakat Islam, tetapi hidup di
lingkungan orang-orang kafir. Oleh karena itu, hubungan antara mereka dengan
kaum muslimin di Madinah tidak dapat disamakan dengan hubungan antara kaum
Muhājirı̄n dan kaum Anṣār dalam masyarakat Islam. Hubungan antara sesama mukmin
di Madinah sangat erat bahkan seperti saudara satu keturunan yang tidak lagi
membedakan hak dan kewajiban. Hubungan antara mereka dengan mukmin di Madinah
hanya diikat atas dasar keimanan saja.
Kaum Muhājirı̄n dan kaum Anṣār telah memberikan teladan dalam
mujāhadatunnafs. Secara bahasa mujāhadah artinya bersungguh-sungguh, sedangkan
an-nafs artinya jiwa, nafsu, diri. Jadi mujāhadatun-nafs artinya perjuangan
sungguh-sungguh melawan hawa nafsu atau bersungguh-sungguh menghindari perbuatan
yang melanggar hukum-hukum Allah subḥānahū wa taʻālā. Dalam bahasa Indonesia
mujāhadatun-nafs disebut dengan kontrol diri. Kontrol diri merupakan salah satu
perilaku terpuji yang harus dimiliki setiap muslim.
Menurut Al-Qur’an nafsu dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.
An-nafsul-ammārah,
yaitu nafsu yang mendorong manusia kepada keburukan sebagaimana yang dinyatakan
dalam QS. Yūsuf [12]: 53
*Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan,
kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun, Maha Penyayang (QS.Yūsuf [12]: 53).
2. An-nafsul-lawwāmah, yaitu nafsu yang menyesali setiap perbuatan buruk
sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Qiyāmah [75]: 2
Dan aku tidak bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya
sendiri).
(QS. Al-Qiyāmah [75]: 2).
3. An-nafsul-muṭmainnah, yaitu nafsu yang tenang sebagaiman dinyatakan dalam
QS. al-Fajr [89] : 27-30
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang rida dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89] : 27-30).
Dari ketiga nafsu yang disebutkan al-Qur’an tersebut, dapat
diketahui bahwa an-nafsul-ammārah mendorong manusia untuk berbuat maksiat.
Kemaksiatan akan menjauhkan kita dari rahmat Allah subḥānahū wa taʻālā serta
akan menimbulkan kegelisahan dalam hati. Oleh karenanya Islam mengajarkan
mujāhadatun-nafs supaya hidup kita bahagia dunia dan akhirat.
Hawa nafsu memiliki kecenderungan untuk mencari berbagai macam
kesenangan dengan tidak mempedulikan aturan agama. Jika kita menuruti hawa
nafsu maka sesungguhnya hati kita telah tertawan dan diperbudak oleh hawa nafsu
itu. Nabi Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam menyebut jihad melawan hawa
nafsu sebagai jihad besar (jihādul-akbar), sedangkan jihad berperang di medan
peperangan sebagai jihad kecil (jihādul-aṣgar). Mengapa demikian? Hal ini
dikarenakan jihad melawan nafsu berarti jihad melawan hal-hal yang
menyenangkan, digemari, dan disukai. Sedangkan jihad berperang di medan
peperangan adalah jihad melawan musuh yang kita benci. Bukankah menghindari
sesuatu yang kita senangi jauh lebih berat daripada menghindari sesuatu yang
kita benci? Perhatikan hadisberikut ini:
Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, bahwasanya
Rasūlullāh bersabda: “Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang
menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi
(nafsu).” (HR.
al-Bukhārı̄).
QS. al-Ḥujurāt [49]: 12
Terjemah Ayat
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12).
Penjelasan QS. al-Ḥujurāt [49]: 12
QS. al-Ḥujurāt ayat 12 berisi tentang larangan berprasangka buruk
(su’uẓ-ẓann). Berprasangka buruk merupakan perilaku tercela yang harus
dihindari. Sebaliknya, orang beriman diperintahkan untuk berprasangka baik (ḥusnuẓ-ẓann),
baik itu ḥusnuẓ-ẓann kepada Allah subḥānahū wa taʻālā, kepada sesama manusia,
maupun kepada diri sendiri.
1.
Ḥusnuẓ-ẓann kepada Allah subḥānahū wa taʻālā, maksudnya
berprasangka baik kepada Allah subḥānahū wa taʻālā. Dia memiliki sifat Maha
Pengasih dan Penyayang, dan mencintai hamba-Nya yang saleh, serta tidak
membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Dalam sebuah hadis qudsi
dinyatakan: “Saya mendengar Rasūlullāh ṣallāllāhu
ʻalaihi wasallam bersabda dari Allah ‘azza wajalla, “Saya berada pada
persangkaan hamba-Ku, maka berprasangkalah dengan-Ku sekehendaknya” (HR. Ahmad).
2.
Ḥusnuẓ-ẓann
kepada orang lain. Orang beriman dilarang untuk berprasangka buruk kepada
orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan larangan menggunjing orang
lain. Sungguh, perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa, bahkan Allah subḥānahū
wa taʻālā mengibaratkan orang yang menggunjing seperti memakan daging
saudaranya yang sudah mati. Bukankah hal ini sangat menjijikkan. Sebagai muslim
kita harus hidup berdampingan dengan sesama muslim yang lain serta menghormati
hak dan kewajibannya. Rasūlullāh ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam bersabda,
yang artinya:
Dari Abū Hurairah dia berkata, Rasūlullāh ṣallāllāhu
ʻalaihi wasallam bersabda: “Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana
orang muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya” (HR. at-Tirmiżı̄).
3. Ḥusnuẓ-ẓann
kepada diri sendiri.
Seseorang yang berprasangka baik kepada diri sendiri akan memiliki sikap
percaya diri, optimis dan bekerja keras. Sebaliknya, jika seseorang berburuk
sangka kepada diri sendiri maka ia akan merasa pesimis, tidak percaya diri, dan
malas berusaha. Allah subḥānahū wa taʻālā melarang hamba-Nya berputus
asa dari rahmat-Nya sebagaimana QS. Yūsuf [12] ayat 87 berikut ini.
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.”
(QS. Yūsuf [12]: 87).
QS. al-Ḥujurāt [49]: 10
Terjemah Ayat
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. al-Ḥujurāt [49]: 10).
Penjelasan QS. al-Ḥujurāt [49]: 10
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mukmin itu bersaudara.
Persaudaraan (ukhuwah) diantara sesama mukmin adalah persaudaraan yang
dilandasi oleh persamaan aqidah dan keimanan kepada Allah subḥānahū wa taʻālā.
Persaudaraan yang didasari oleh nilai-nilai Islam dikenal dengan istilah
ukhuwah islāmiyyah. Ukhuwah islāmiyyah mencakup :
1. Ukhuwah Dīniyyah, yaitu persaudaraan yang didasari oleh
persamaan agama. Persaudaraan seagama dan seiman inilah yang dimaksud oleh QS.
Al-Ḥujurāt ayat 10.
2. Ukhuwah Waṭāniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan karena satu
bangsa dan keterikatan keturunan.
3. Ukhuwah Insāniyyah atau Basyāriyyah, yaitu persaudaraan karena
sama-sama manusia. Ukhuwah Dīniyyah akan memperkokoh tegaknya kehidupan
masyarakat yang aman dan tenteram. Ukhuwah akan memunculkan solidaritas dan
timbulnya kepedulian sosial di masyarakat. Sebagai sesama mukmin, kita harus
mampu menjaga martabat dan kehormatan sesama mukmin. QS. Al-Ḥujurāt ayat 10
menghendaki ukhuwah kaum mukmin harus benar-benar kuat, lebih kuat dari
persahabatan dan pertemanan biasa. Kita laksanakan hak dan kewajiban dengan
penuh tanggung jawab. Rasūlullāh bersabda:
عن ابي موسى الا شعري قال: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن
للمؤمن كا لبنيا ن يشد بعضه بعضا { روا ه الترمذي }
Dari Abū Mūsa al-Asy›arī, ia berkata; Rasūlullāh
bersabda: “Antara seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bagaikan
satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lainnya.” (HR. at-Tirmiżı̄).
Persaudaraan
akan menjadikan kehidupan yang harmonis, diliputi rasa saling mencintai, saling
menjaga perdamaian dan persatuan. Jika terjadi perselisihan diantara mereka,
maka Allah subḥānahū wa taʻālā memerintahkan untuk mendamaikan keduanya
dengan mencari solusi sesuai syariat Allah subḥānahū wa taʻālā dan
rasul-Nya. Perselisihan diantara kaum muslim tidak menyebabkan salah satunya
keluar dari Islam, mereka tetap bersaudara. Mereka harus didamaikan (iṣlāh) dengan
cara-cara yang islami.
Hadis
ابو هريرة يا ثر عن النبي صلى الله عليه وسلم قا ل ا يا
كم والظن فا ن الظن اكذب ولا تجسسوا ولا تجسسوا ولا تبا غضوا وكو نوا اخوا نا ولا
يخطب الرجل على خطبة اخيه حتى ينكح او يترك { روا ه البخا ري }
Terjemah Hadis
Abū Hurairah berkata, satu warisan dari Nabi, beliau
bersabda: “Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan
yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan
pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara.
Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia
menikahinya atau meninggalkannya.” (HR. al- Bukhārı̄).
Penjelasan Hadis
Hadis tersebut menyebutkan mengenai beberapa hal yang
harus dihindari oleh kaum muslimin yaitu: berprasangka terhadap orang lain,
mencari-cari kejelekan orang lain, dan membenci orang lain. Dengan kata lain,
kita sebagai seorang muslim harus bersatu menjalin ukhuwah satu dengan yang
lain agar tercipta ketenangan, kerukunan, dan persatuan umat.
Perilaku Orang yang MenerapkanMujāhadatun-Nafs dan
Ukhuwah
1. Menerapkan Kontrol Diri (Mujāhadatun-Nafs) untuk
Meraih Hidup Bahagia.
Bagaimana cara melakukan kontrol diri (mujāhadatun-nafs)?
Cara yang pertama adalah dengan memusuhi hawa nafsu. Tanamkan dalam hati
bahwa hawa nafsu harusdiperangi dan dilawan. Kedua, renungkan dampak
negatif dari perilaku maksiat,dan renungkan akibat positif beramal shaleh.
Setiap perbuatan dosa dan maksiatakan berakibat buruk bagi diri sendiri,
misalnya hati gelisah, hidup tidak tenang,dan merasa jauh dari Allah subḥānahū
wa taʻālā . Sebaliknya, amal saleh akan berakibatpositif bagi dirinya,
misalnya hidup tenang, optimis, merasa dekat dengan Allah subḥānahū wa
taʻālā. Ketiga, memperbanyak dan melanggengkan dzikir kepadaAllah subḥānahū
wa taʻālā (żikrullāh).
2. Menerapkan Prasangka Baik (Ḥusnuẓ-Ẓann) untuk
Meraih Hidup Bahagia.
Ḥusnuẓ-ẓann
kepada Allah subḥānahū wa taʻālā dapat dilakukan dengan duasikap yaitu:
Pertama, bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan Allahsubḥānahū
wa taʻālā . Caranya dengan mengucapkan alhamdulillah, dan menggunakan nikmat
sesuai petunjuk Allah subḥānahū wa taʻālā dan rasul-Nya. Kedua,
bersabar atas semua cobaan dan ujian dari Allahsubḥānahū wa taʻālā.
Ingatlah bahwa Allah subḥānahū wa taʻālā tidak akan membebani seseorang
di luar batas kemampuan.
Ḥusnuẓ-ẓann
kepada orang lain
dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut: Pertama, mudah memaafkan
kesalahan orang lain. Kedua, melihat seseorang darisisi baiknya. Ketiga,
mengingat-ingat kebaikan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Keempat, bertutur
kata dan berperilaku lemah lembut kepada orang lain.
Ḥusnuẓ-ẓann
kepada diri sendiri
dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut: Pertama, percaya diri,
meyakini bahwa dirinya mampu melakukan sebuah pekerjaan. Kedua, optimis
menghadapi hidup, tidak mudah putus asa. Ketiga, berusahadan bekerja
keras meraih cita-cita.
3. Menerapkan Persaudaraan (Ukhuwah) Untuk
Meraih Hidup Bahagia.
Persaudaraan
(ukhuwah) sesama mukmin akan bisa terjaga dan tumbuh dengan melakukan
hal-hal dibawah ini:
1. Saling mencintai sesama mukmin karena Allah semata.
2. Menghargai perbedaan pendapat dan pandangan.
3. Membantu seorang mukmin yang mengalami kesulitan.
4. Melaksanakan hak dan kewajiban dengan penuh
tanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar