AL-QUR'AN HADITS KELAS 11

Senin, 04 Juni 2018

BAB II - HIDUP LEBIH DAMAI DENGAN MUJĀHADATUN-NAFS, HUSNUD-ZANN, DAN UKHUWAH


BAB II - HIDUP LEBIH DAMAI DENGAN MUJĀHADATUN-NAFS,
HUSNUD-ZANN, DAN UKHUWAH
QS. al-Anfāl [8]: 72


¨Terjemah Ayat
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhājirīn), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Anfāl [8] : 72).

Penjelasan QS. al-Anfāl [8]: 72
Dalam peristiwa hijrahnya Nabi bersama sahabat ke Madinah, terdapat tiga golongan; Pertama adalah kaum Muhājirı̄n yaitu orang-orang yang berhijrah bersama Nabi Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam dari Mekah ke Madinah. Mereka mengalami kekerasan, penyiksaan dan kekejaman yang dilakukan oleh kaum kafir tetapi mereka tetap sabar dan tetap dalam iman. Kedua adalah kaum Anṣār yaitu orang-orang Madinah yang beriman kepada Allah subḥānahū wa taʻālā, berjanji kepada Nabi Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam dan kaum Muhājirı̄n untuk bersama-sama berjuang di jalan Allah. Mereka bersedia menolong dan berkorban dengan harta dan jiwanya demi keberhasilan perjuangan Islam. Allah memberikan dua sebutan mulia kepada mereka sebagai “pemberi tempat kediaman” dan “penolong dan pembantu”. Ketiga adalah kaum yang tidak termasuk dalam keduanya, mereka tetap tinggal di Mekah yang dikuasai oleh kaum kafir. Mereka tidak dapat disamakan dengan kaum Muhājirı̄n dan kaum Anṣār karena mereka tidak berada dalam lingkungan masyarakat Islam, tetapi hidup di lingkungan orang-orang kafir. Oleh karena itu, hubungan antara mereka dengan kaum muslimin di Madinah tidak dapat disamakan dengan hubungan antara kaum Muhājirı̄n dan kaum Anṣār dalam masyarakat Islam. Hubungan antara sesama mukmin di Madinah sangat erat bahkan seperti saudara satu keturunan yang tidak lagi membedakan hak dan kewajiban. Hubungan antara mereka dengan mukmin di Madinah hanya diikat atas dasar keimanan saja.
Kaum Muhājirı̄n dan kaum Anṣār telah memberikan teladan dalam mujāhadatunnafs. Secara bahasa mujāhadah artinya bersungguh-sungguh, sedangkan an-nafs artinya jiwa, nafsu, diri. Jadi mujāhadatun-nafs artinya perjuangan sungguh-sungguh melawan hawa nafsu atau bersungguh-sungguh menghindari perbuatan yang melanggar hukum-hukum Allah subḥānahū wa taʻālā. Dalam bahasa Indonesia mujāhadatun-nafs disebut dengan kontrol diri. Kontrol diri merupakan salah satu perilaku terpuji yang harus dimiliki setiap muslim.
Menurut Al-Qur’an nafsu dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.      An-nafsul-ammārah, yaitu nafsu yang mendorong manusia kepada keburukan sebagaimana yang dinyatakan dalam QS. Yūsuf [12]: 53
*Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS.Yūsuf [12]: 53).
2.      An-nafsul-lawwāmah, yaitu nafsu yang menyesali setiap perbuatan buruk
sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Qiyāmah [75]: 2
 
Dan aku tidak bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).
(QS. Al-Qiyāmah [75]: 2).
3.      An-nafsul-muṭmainnah, yaitu nafsu yang tenang sebagaiman dinyatakan dalam QS. al-Fajr [89] : 27-30
 
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89] : 27-30).

Dari ketiga nafsu yang disebutkan al-Qur’an tersebut, dapat diketahui bahwa an-nafsul-ammārah mendorong manusia untuk berbuat maksiat. Kemaksiatan akan menjauhkan kita dari rahmat Allah subḥānahū wa taʻālā serta akan menimbulkan kegelisahan dalam hati. Oleh karenanya Islam mengajarkan mujāhadatun-nafs supaya hidup kita bahagia dunia dan akhirat.
Hawa nafsu memiliki kecenderungan untuk mencari berbagai macam kesenangan dengan tidak mempedulikan aturan agama. Jika kita menuruti hawa nafsu maka sesungguhnya hati kita telah tertawan dan diperbudak oleh hawa nafsu itu. Nabi Muhammad ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam menyebut jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad besar (jihādul-akbar), sedangkan jihad berperang di medan peperangan sebagai jihad kecil (jihādul-aṣgar). Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan jihad melawan nafsu berarti jihad melawan hal-hal yang menyenangkan, digemari, dan disukai. Sedangkan jihad berperang di medan peperangan adalah jihad melawan musuh yang kita benci. Bukankah menghindari sesuatu yang kita senangi jauh lebih berat daripada menghindari sesuatu yang kita benci? Perhatikan hadisberikut ini:
Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh bersabda: “Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi (nafsu).” (HR. al-Bukhārı̄).

QS. al-Ḥujurāt [49]: 12
Terjemah Ayat
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12).

Penjelasan QS. al-Ḥujurāt [49]: 12
QS. al-Ḥujurāt ayat 12 berisi tentang larangan berprasangka buruk (su’uẓ-ẓann). Berprasangka buruk merupakan perilaku tercela yang harus dihindari. Sebaliknya, orang beriman diperintahkan untuk berprasangka baik (ḥusnuẓ-ẓann), baik itu ḥusnuẓ-ẓann kepada Allah subḥānahū wa taʻālā, kepada sesama manusia, maupun kepada diri sendiri.
1.                  Ḥusnuẓ-ẓann kepada Allah subḥānahū wa taʻālā, maksudnya berprasangka baik kepada Allah subḥānahū wa taʻālā. Dia memiliki sifat Maha Pengasih dan Penyayang, dan mencintai hamba-Nya yang saleh, serta tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan: “Saya mendengar Rasūlullāh ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam bersabda dari Allah ‘azza wajalla, “Saya berada pada persangkaan hamba-Ku, maka berprasangkalah dengan-Ku sekehendaknya” (HR. Ahmad).
2.                   Ḥusnuẓ-ẓann kepada orang lain. Orang beriman dilarang untuk berprasangka buruk kepada orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan larangan menggunjing orang lain. Sungguh, perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa, bahkan Allah subḥānahū wa taʻālā mengibaratkan orang yang menggunjing seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati. Bukankah hal ini sangat menjijikkan. Sebagai muslim kita harus hidup berdampingan dengan sesama muslim yang lain serta menghormati hak dan kewajibannya. Rasūlullāh ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam bersabda, yang artinya:
Dari Abū Hurairah dia berkata, Rasūlullāh ṣallāllāhu ʻalaihi wasallam bersabda: “Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana orang muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya” (HR. at-Tirmiżı̄).
3.      Ḥusnuẓ-ẓann kepada diri sendiri. Seseorang yang berprasangka baik kepada diri sendiri akan memiliki sikap percaya diri, optimis dan bekerja keras. Sebaliknya, jika seseorang berburuk sangka kepada diri sendiri maka ia akan merasa pesimis, tidak percaya diri, dan malas berusaha. Allah subḥānahū wa taʻālā melarang hamba-Nya berputus asa dari rahmat-Nya sebagaimana QS. Yūsuf [12] ayat 87 berikut ini.
 

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yūsuf [12]: 87).


QS. al-Ḥujurāt [49]: 10
Terjemah Ayat
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 10).

Penjelasan QS. al-Ḥujurāt [49]: 10
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mukmin itu bersaudara. Persaudaraan (ukhuwah) diantara sesama mukmin adalah persaudaraan yang dilandasi oleh persamaan aqidah dan keimanan kepada Allah subḥānahū wa taʻālā. Persaudaraan yang didasari oleh nilai-nilai Islam dikenal dengan istilah ukhuwah islāmiyyah. Ukhuwah islāmiyyah mencakup :
1. Ukhuwah Dīniyyah, yaitu persaudaraan yang didasari oleh persamaan agama. Persaudaraan seagama dan seiman inilah yang dimaksud oleh QS. Al-Ḥujurāt ayat 10.
2. Ukhuwah Waṭāniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan karena satu bangsa dan keterikatan keturunan.
3. Ukhuwah Insāniyyah atau Basyāriyyah, yaitu persaudaraan karena sama-sama manusia. Ukhuwah Dīniyyah akan memperkokoh tegaknya kehidupan masyarakat yang aman dan tenteram. Ukhuwah akan memunculkan solidaritas dan timbulnya kepedulian sosial di masyarakat. Sebagai sesama mukmin, kita harus mampu menjaga martabat dan kehormatan sesama mukmin. QS. Al-Ḥujurāt ayat 10 menghendaki ukhuwah kaum mukmin harus benar-benar kuat, lebih kuat dari persahabatan dan pertemanan biasa. Kita laksanakan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab. Rasūlullāh bersabda:
عن ابي موسى الا شعري قال: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن للمؤمن كا لبنيا ن يشد بعضه بعضا { روا ه الترمذي }
Dari Abū Mūsa al-Asy›arī, ia berkata; Rasūlullāh bersabda: “Antara seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lainnya.” (HR. at-Tirmiżı̄).

Persaudaraan akan menjadikan kehidupan yang harmonis, diliputi rasa saling mencintai, saling menjaga perdamaian dan persatuan. Jika terjadi perselisihan diantara mereka, maka Allah subḥānahū wa taʻālā memerintahkan untuk mendamaikan keduanya dengan mencari solusi sesuai syariat Allah subḥānahū wa taʻālā dan rasul-Nya. Perselisihan diantara kaum muslim tidak menyebabkan salah satunya keluar dari Islam, mereka tetap bersaudara. Mereka harus didamaikan (iṣlāh) dengan cara-cara yang islami.

Hadis
ابو هريرة يا ثر عن النبي صلى الله عليه وسلم قا ل ا يا كم والظن فا ن الظن اكذب ولا تجسسوا ولا تجسسوا ولا تبا غضوا وكو نوا اخوا نا ولا يخطب الرجل على خطبة اخيه حتى ينكح او يترك { روا ه البخا ري }  
Terjemah Hadis
Abū Hurairah berkata, satu warisan dari Nabi, beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya.” (HR. al- Bukhārı̄).

Penjelasan Hadis
Hadis tersebut menyebutkan mengenai beberapa hal yang harus dihindari oleh kaum muslimin yaitu: berprasangka terhadap orang lain, mencari-cari kejelekan orang lain, dan membenci orang lain. Dengan kata lain, kita sebagai seorang muslim harus bersatu menjalin ukhuwah satu dengan yang lain agar tercipta ketenangan, kerukunan, dan persatuan umat.

Perilaku Orang yang MenerapkanMujāhadatun-Nafs dan Ukhuwah
1. Menerapkan Kontrol Diri (Mujāhadatun-Nafs) untuk Meraih Hidup Bahagia.
Bagaimana cara melakukan kontrol diri (mujāhadatun-nafs)? Cara yang pertama adalah dengan memusuhi hawa nafsu. Tanamkan dalam hati bahwa hawa nafsu harusdiperangi dan dilawan. Kedua, renungkan dampak negatif dari perilaku maksiat,dan renungkan akibat positif beramal shaleh. Setiap perbuatan dosa dan maksiatakan berakibat buruk bagi diri sendiri, misalnya hati gelisah, hidup tidak tenang,dan merasa jauh dari Allah subḥānahū wa taʻālā . Sebaliknya, amal saleh akan berakibatpositif bagi dirinya, misalnya hidup tenang, optimis, merasa dekat dengan Allah subḥānahū wa taʻālā. Ketiga, memperbanyak dan melanggengkan dzikir kepadaAllah subḥānahū wa taʻālā (żikrullāh).
2. Menerapkan Prasangka Baik (Ḥusnuẓ-Ẓann) untuk Meraih Hidup Bahagia.
Ḥusnuẓ-ẓann kepada Allah subḥānahū wa taʻālā dapat dilakukan dengan duasikap yaitu: Pertama, bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan Allahsubḥānahū wa taʻālā . Caranya dengan mengucapkan alhamdulillah, dan menggunakan nikmat sesuai petunjuk Allah subḥānahū wa taʻālā dan rasul-Nya. Kedua, bersabar atas semua cobaan dan ujian dari Allahsubḥānahū wa taʻālā. Ingatlah bahwa Allah subḥānahū wa taʻālā tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuan.  
Ḥusnuẓ-ẓann kepada orang lain dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut: Pertama, mudah memaafkan kesalahan orang lain. Kedua, melihat seseorang darisisi baiknya. Ketiga, mengingat-ingat kebaikan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Keempat, bertutur kata dan berperilaku lemah lembut kepada orang lain.          
Ḥusnuẓ-ẓann kepada diri sendiri dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut: Pertama, percaya diri, meyakini bahwa dirinya mampu melakukan sebuah pekerjaan. Kedua, optimis menghadapi hidup, tidak mudah putus asa. Ketiga, berusahadan bekerja keras meraih cita-cita.
3. Menerapkan Persaudaraan (Ukhuwah) Untuk Meraih Hidup Bahagia.
Persaudaraan (ukhuwah) sesama mukmin akan bisa terjaga dan tumbuh dengan melakukan hal-hal dibawah ini:
1. Saling mencintai sesama mukmin karena Allah semata.
2. Menghargai perbedaan pendapat dan pandangan.
3. Membantu seorang mukmin yang mengalami kesulitan.
4. Melaksanakan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar